Ramadan dan Ketaatan Terhadap Hukum
Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH (Rektor Universitas Djuanda)
Bismillahirrohmanirrohim
Assalamualaikum
warohmatullahi wabarokatuh
Ramadan merupakan bulan penuh berkah, rahmat
dan ampunan. Setiap muslim seharusnya bersuka cita karena diberikan kesempatan
untuk beribadah di bulan Ramadan. Berpuasa sebulan penuh pada hakikatnya adalah
mengajarkan muslim untuk menahan diri, sesuai dengan asal kata puasa dari kata saum
atau shiyam yang berarti menahan diri. Tujuan akhir yang ingin dicapai
adalah ketaqwaan sebagaimana dinyatakan dalam Firman Allah Surat Al-Baqarah
ayat 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Tentu telah difahami secara umum mengenai pengertian ketaqwaan yaitu
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Ketaatan merupakan kata
kunci dalam ketaqwaan. Puasa mengajarkan muslim untuk menahan diri untuk tetap
menaati perintah Allah dan menahan diri untuk
menjauhi larangan Allah. Pada ketaqwaan terdapat keterikatan seorang
muslim dengan
hukum syariah, kemampuan untuk menjalankan Al-Quran dan Sunnah untuk meraih
ridho Allah SWT.
Dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, ketaatan terhadap hukum yang berlaku merupakan hal
mutlak. Indonesia
merupakan negara hukum, UUD 1945 pasal 1 ayat tiga berbunyi Negara Indonesia
adalah negara hukum. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan
setiap warga negara wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.
Secara hirarki peraturan
perundang-undangan terdapat dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang peraturan
perundang-undangan yaitu:
-
UUD 1945
-
TAP MPR
-
UU/PERPU
-
Peraturan
Pemerintah
-
Peraturan Presiden
-
Perda Propinsi
-
Perda Kabupaten/Kota
Sistem hukum di Indonesia juga mengakui hukum adat dan hukum agama sebagai pengejewantahan hukum tidak tertulis yang dikenal dengan living law. Hukum adat diatur, dilindungi, dan diakomodir oleh konstitusi seperti tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Hukum agama, terutama agama Islam telah diakui secara khusus melalui keberadaan pengadilan agama. Pengakuan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia belum menyeluruh. Beberapa aturan dalam Islam telah menjadi Undang-undang, seperti Undang-undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, wakaf, perbankan syariah serta Undang-undang penyelenggaraan kesitimewaan dan otonomi khusus di Aceh.
Tentunya penerapan hukum agama dalam sistem hukum Indonesia belum sepenuhnya
sesuai dengan pengertian hukum Islam, yang
berarti seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang
tingkah laku manusia mukallaf yang
diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Alih-alih
mendiskusikan perbedaan dan kekurangan sistem hukum Indonesia dalam
mengakomodasi hukum Islam, pembahasan mengenai keterkaitan antara pelaksanaan
ibadah di bulan suci Ramadan dengan hukum lebih relevan didiskusikan sebagai pelatihan
ketaatan terhadap hukum.
Ramadan dapat menjadi bentuk ketaatan
terhadap hukum melalui tiga cara. Pertama, Ramadan merupakan pembentukan sikap
taat meskipun tidak ada yang menilai, memberikan sanksi atau memberikan
penghargaan. Ketaatan terhadap hukum dari setiap warga negara dan muslim terhadap
hukum negara dan agama merupakan sikap yang mewujud pada perilaku. Perilaku
taat terhadap hukum memerlukan latihan. Sistem hukum Indonesia menerapkan
hukuman bagi pelanggar hukum. Penegakan sanksi yang kurang menyebabkan hukum
berkurang kewibawaannya. Bagaimana jika warga negara Indonesia dapat taat
terhadap hukum tanpa ada sanksi duniawi? Tentunya masyarakat sipil yang sadar
hukum, ketertiban dan keteraturan akan mewujud dalam kehidupan masyarakat.
Kondisi ini merupakan kondisi yang dibangun oleh suasana Ramadan.
Kedua, Ramadan melatih muslim untuk menjalankan tidak hanya yang wajib namun juga yang sunnah. Tentunya disepakati, tidak ada perintah Allah dan tuntunan Nabi yang mengajarkan keburukan. Hukum disusun untuk membangun keteraturan. Kemauan dan kemampuan muslim untuk melakukan kebaikan secara terus menerus selama sebulan penuh akan membangun keteraturan melampaui dari kemampuan hukuman dalam membangun keteraturan.
Ketiga, tujuan akhir dari ketaqwaan sebagai outcome Ramadan adalah ridho Allah.
Muslim yang memiliki tujuan hidup mencapai ridho Allah akan mewujudkan ketaatan
dalam kehidupan sehari-hari mereka. Bukan berarti hukum tidak diperlukan lagi,
namun muslim sebagai individu sebagai pelaksana hukum telah menjadi insan yang tidak hanya taat
namun membangun ketaatan sebagai bagian dari individu,
keluarga dan masyarakat.
Wallahu yaqulul haq
wahuwa yahdissabil