“Indonesia
saat ini sedang dalam kondisi darurat kebohongan”. Pernyataan ini disampaikan
tokoh yang baru saja keluar dengan status pembebasan bersyarat dari Lembaga
Pemasyarakatan, Habib Rizieq Shihab (HRS). “Apakah itu darurat korupsi, apakah
itu darurat kedzaliman, apakah itu darurat utang, apakah itu darurat ekonomi
dan lain sebagainya. Maka kuncinya adalah yuk sama-sama kita obati semua itu
dengan revolusi akhlak”, katanya. Rizieq menyebut situasi di Indonesia sudah
rusak dimana-mana. Karena itu semua kerusakan bisa diobati dengan revolusi
akhlak namun dengan cara yang berakhlaq. (CNN Indonesia, Kamis 21 Juli 2022).
Pernyataan
keras tokoh kontraversial ini seperti menyengat pemerintahan yang berkuasa saat
ini. Karena itu berbagai tanggapan pro dan kontra muncul, lebih pada
kata-katanya yang dianggap” radikal”,
padahal beliau masih berstatus warga binaan. Namun demikian kedua kelompok tadi
umumnya mengakui substansinya. Indonesia sejak reformasi memang dalam kondisi
carut marut di semua bidang yang ada. Belum ada satupun Kepala Pemerintahan sejak
Proklamasi Kemerdekaan hingga sekarang yang sungguh-sungguh mampu mencapai tujuan ideal didirikannya NKRI
Sebagai staf
pengajar sejak 1987 dan juga wartawan di berbagai media saya memang melihat
fakta-fakta yang ada, kesemrawutam dari satu rezim ke rezim berikutnya nyaris
tidak terhindari. Berbagai kebijakan yang ada masih jauh dari amanat
konstitusi. Problematika bangsa yang disibukan dengan permalahan internal terkait
pengelolaan negara yang kurang baik, dan cenderung tidak memiliki landasan
pijak yang kuat saat mengambil berbagai kebijakannya.
“Krisis
ekonomi yang terjadi di Indonesia antara
lain disebabkan oleh tata cara penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola
dengan baik. Akibatnya timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan,
monopoli dalam kegiatan ekonomi dan kualitas pelayanan kepada masyarakat yang
buruk”. (Naerul Edwin Kiki Aprianto,”Evaluasi Kebijakan Keuangan Publik Dalam
Tinjauan Islam”).
Pernyataan
tegas diatas juga disampaikan seorang akademisi IAIN dalam jurnal STAI Bina
Madani No.1 Februari 2021.”Ini akibat pengelolaan pemerintahan sama sekali
tidak berjalan sebagaimana mestinya”. Ditambahkannya, praktek-praktek oligarki
telah menguasai semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena itu
kita pahami bersama, pelayanan publik saat ini dirasakan pada titik terendah
sehingga muncul statement, “Kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah” yang
dampaknya sangat dirasakan masyarakat hingga sekarang. Pokoknya kalau sudah
berhubungan dengan pemerintah tidak ada yang gampang urusannya. Semuanya sulit,
berbelit-belit, tidak jelas selesainya kapan, urusannya uang, antri panjang,
tidak nyaman dan masih banyak lagi pernyataan-pernyataan kompleksitas terkait
hak-hak publik yang terabaikan.
Mengapa ini
terjadi? Setidaknya Kondisi ini
disebabkan begitu banyak kebijakan
publik yang mengesampingkan kaidah keilmuan yang benar dan terkesan dibuat
hanya untuk kepentingan kelompok berkuasa. Dalam pengamatan akademis lainnya
Jailani, kondisi diatas juga dianalisis dalam artikelnya. “Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh
pemerintah selama ini seringkali mengabaikan dan mengecewakan rakyat. Secara konseptual rakyat
kecewa pada birokrasi, karena mereka tidak ditempatkan selayaknya sebagai
pelanggan yang pantas mendapatkan jasa pelayanan, padahal mereka telah membayar
para birokrat itu baik melalui pajak dan lainnya...Lebih dari itu , masyarakat
dalam menerima pelayanan harus mengeluarkan biaya pelicin agar dapat cepat
selesai”. (Jailani, Pelayanan Publik : Kajian Pendekatan Menurut Perspektif
Islam”)
Padahal,
tujuan kebijakan publik seharusnya adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat
melalui peraturan yang dibuat oleh pemerintah dengan diperolehnya nilai-nilai
oleh publik yang bertalian dengan barang pubik (public goods) maupun jasa publik (public service).
Kebijakan
Publik dalam Islam.
Islam
semestinya menjadi kompas bagi kehidupan umat manusia dalam menjalankan
kehidupan di segala aspek, seperti agama, ekonomi, sosial budaya, politik,
pendidikan, kesehatan dan lainnya. Kelengkapan ajarannya telah mendorong
manusia bergerak menuju pertumbuhan dan kebangunan intelektual dan kultural. Semuanya
bersumber pada ajarannya yang berasal dari Alqur’an dan Hadist.
Alqur’an
pada hakekatnya adalah sebuah kebijakan, yakni kebijakan AllahSWT turunkan
melalui Rasulullah, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasalam. Karena itu Alqur’an
berisi pedoman (al-huda) yang
memberikan petunjuk, tuntunan, panduan, dan arahan bagi seluruh kaum mukminin
untuk menuju ke jalan yang benar, jalan yang lurus, yaitu jalan yang telah ditunjuk
Allah untuk menuju surga.
Kebijakan
Publik dalam Islam adalah kebijakan umum
yang melahirkan kemaslahatan atau kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai tujuan
tersebut para ilmuwan dan cendekiawan Muslim klasik seperti Imam Al-Ghazali,
Imam Asy-Syatibi, menekankan pada pentingnya terpenuhinya pilar maqashid shari’ah dalam seluruh kebijakan umum yang dilahirkan oleh para
pemimpin (ulil amri) atau pemerintah
Islam.
Enam Prinsip
Utama dalam memperbaiki kinerja Kebijakan Publik dalam perspektif Islam :
1.
Ketuhanan (Ilahiah) : setiap aktivitas yang
dilakukan dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik harus
berorientasi pada ketuhanan.
2. Kemanusiaan (Insaniah) :
kebijakan apapun yang dilakukan pada dasarnya ditujukan untuk kemakmuran dan
kesejahteraan umat manusia, baik saat ini maupun masa yang akan datang.
3. Keseimbangan (Tawazun) :
kebijakan yang dibuat harus memperhatikan semua dimensi secara seimbang dan
proporsional.
4. Keadilan (Al- ‘Adalah) :
kebijakan apapun yang dibuat harus berorientasi pada keadilan (tepat sasaran)
berdasarkan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta keseimbangan.
5. Pelayanan (Al-Khadimah)
: sesuai dengan keberadaan perumus kebijakan (pemimpin) sebagai abdi, khadam,
atau pelayan masyarakat, berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
keseimbangan dan keadilan, maka kebijakan yang dibuat harus berorientasi pada
pemberian pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.
6.
Keteladanan
(Uswah Al-Hasanah) : selain sebagai
abdi, khadam atau pelayan masyarakat, perumus kebijakan juga adalah seorang
pemimpin. Hakikat kepemimpinan digambarkan Rasulullah dalam kalimat “ Sayyid al-qawm khaadimuhum” (pemimpin
suatu kaum/masyarakat adalah hamba/pelayan bagi mereka.
Kebijakan
pemerintah sejatinya tidak boleh lepas dari ajaran Islam, sebagai agama
mayoritas di Indonesia. Negara yang berlandaskan Pancasila dan Pembukaan UUD
1945 sangat menekankan pentingnya nilai agama dalam setiap Kebijakan yang akan
diputuskan. Sila pertama hingga sila
kelima Pancasila sejatinya harus menjadi pijakan dasar Kebijakan. Begitu juga
terkait dengan Tujuan Negara yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD
1945.
Karena itu
sudah seharusnya ajaran Islam menjadi pijakan dasar saat pemerintah akan
mengeluarkan kebijakan apapun hingga lini terbawah. Tegasnya, Kebijakan Publik
yang sesuai dengan Islam adalah kebijakan umum yang melahirkan kemaslahatan
atau kesejahteraan rakyat.
Kebijakan
Publik berorientasi Syariah.
Adalah
kebijakan umum yang melahirkan kemaslahatan atau kesejahteraan rakyat dengan
pilar utama terpenuhinya tujuan syariah (maqashid syari’ah). Untuk mencapai
tujuan tersebut para ilmuwan dan cendikiawan Muslim Imam Al-Ghazali dan Imam Asy-Syatibi, menegaskan terpenuhinya
pilar maqashid shari’ah dalam
Kebijakan Publik.
Kedua imam
tersebut membagi maqashid syari’ah dalam tiga level, yaitu: Pertama, dharuriyah atau kebutuhan pokok manusia
yang jika tidak dipenuhi akan menyebabkan kerusakan, kesengsaraan di dunia dan
akhirat. Kebutuhan tersebut adalah terpeliharanya agama (hifzud-dien), jiwa (hifzun-nafs),
akal (hifzul-‘aqal), keturunan (hifzun-nasb), dan harta (hifzul-maal);
Kedua, hajjiah atau kebutuhan sekunder untuk
menopang kebutuhan dharuriyah seperti perlunya badan yang mengawasi kebijakan
agar dapat berjalan sesuai tujuan dan untuk mempermudah tercapainya
kemaslahatan hidup, dan menanggulangi kesulitan atau penyelewengan, dan;
Ketiga, tahsiniyyah, yaitu pemenuhan
kebutuhan yang dapat memperindah, suasana yang nyaman di mana syariah menjamin
bagi pemanfaatan keindahan dan kenyamanan.
Dalam hal
kebijakan publik dapat disebutkan pemberian fasilitas bagi pejabat pelaksana
kebijakan. Level kedua dan ketiga hanya untuk memperkuat terpenuhinya capaian
level pertama yang bersifat pokok dan boleh tidak dipenuhi jika dianggap
mengurangi pemenuhan kebutuhan pertama. Kebijakan publik yang beorientasi
syariah, tujuan utamanya untuk terjaminnya pemeliharaan ketiga level mashalahah
tersebut. Dengan fokus utamanya pada lima kebutuhan pokok manusia yaitu
terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Penutup.
Semoga
dengan uraian singkat ini memberikan inspirasi pada kita semua untuk lebih
meyakinkan lagi bahwa, agama Islam yang dibawakan nabi Muhammad saw yang
berisikan Firman-firman Allah SWT sangat
komprehensif dan mengatur semua aspek kehidupan manusia. Dalam ilmu Kebijakan
Publik, Islam juga telah memberikan pencerahan bagaimana merumuskan dan
memutuskan serta mengimplementasikan bagi kemaslahatan umat manusia. Sejatinya
Indonesia yang mayoritas Muslim dan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 sudah
seharusnya menerapkan setiap kebijakannya dengan kandungan Alquran, dan tentunya
dilengkapi dengan Hadist Nabi serta Ijtihad-ijtihad Ulama sohih Ahlul
Sunah.