Oleh:
Dr. Yudi Wahyudin, S.Pi., M.Si.
(Dekan Fakultas Pertanian Universitas Djuanda Bogor)
Perserikatan
Bangsa-Bangsa telah mencanangkan 22 Mei sebagai Hari Internasional untuk
Keanekaragaman Hayati (International Biodiversity Day - IBD). Peringatan Hari Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Day) ini bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan masalah keanekaragaman hayati yang
melanda dunia dan mengancam eksistensi umat manusia. Penetapan tanggal 22 Mei sebagai Hari
Internasional untuk Keanekaragaman Hayati dilakukan pada bulan Desember 2000
oleh Majelis Umum PBB untuk memperingati adopsi teks konvensi yang
diselenggarakan pada tanggal 22 Mei 1992 oleh Nairobi Final Act of the
Conference for the Adoption of the Agreed Text of the Convention on Biological
Diversity. Sebelumnya, ketika pertama
kali dibentuk oleh Komite Kedua Majelis Umum PBB pada akhir 1993, tanggal 29
Desember ditetapkan sebagai Hari Internasional untuk Keanekaragaman Hayati
untuk memperingati tanggal mulai diberlakukannya Konvensi Keanekaragaman
Hayati, namun dikarenakan banyak negara kesulitan untuk merencanakan dan melaksanaan
perayaan yang sesuai untuk tanggal 29 Desember, mengingat banyaknya jumlah hari
libur yang bertepatan pada waktu itu dalam setahun, Majelis Umum PBB pada bulan
Desember merubah penetapan Hari Internasional untuk Keanekaragaman Hayati
menjadi tanggal 22 Mei.
Keanekaragaman
hayati mengacu pada berbagai spesies hidup di Bumi, termasuk tumbuhan, hewan,
bakteri, dan jamur. Begitu kayanya keanekaragaman
hayati Bumi, banyak spesies belum ditemukan disamping banyak spesies yang
terancam punah karena aktivitas manusia, sehingga keanekaragaman hayati berada pada kondisi yang kritis dan
membahayakan. Keanekaragaman hayati
sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman besar
kehidupan di Bumi dan secara lebih spesifik untuk merujuk pada semua spesies
dalam satu wilayah atau ekosistem.
Keanekaragaman hayati mengacu pada setiap makhluk hidup, termasuk
tumbuhan, bakteri, hewan, dan manusia.
Para ilmuwan telah memperkirakan bahwa terdapat sekitar 8,7 juta spesies
tumbuhan dan hewan yang ada di Bumi, namun baru hanya sekitar 1,2 juta spesies
yang telah diidentifikasi dan dideskripsikan sejauh ini, dimana sebagian besar
diantaranya merupakan serangga. Hal ini
tentu saja menunjukkan bahwa jutaan organisme lain yang ada di Bumi dalam
menjadi misteri. Oleh karena itu, para
ilmuwan tertarik pada berapa banyak keanekaragaman hayati yang ada dalam skala
global untuk segera ditemukan dan dipelajari lebih lanjut, diantaranya
mempelajari berapa banyak spesies yang terdapat dalam suatu ekosistem tunggal
seperti hutan, padang rumput, tundra, atau danau. Ekosistem yang paling banyak menampung
keanekaragaman hayati cenderung memiliki kondisi lingkungan yang ideal untuk
pertumbuhan tanaman pada wilayah dengan iklim hangat dan basah di daerah
tropis, seperti Indonesia.
Pada
kenyataannya saat ini, sebagian besar keanekaragaman hayati Bumi berada dalam
bahanya akibat konsumsi manusia dan aktivitas lain yang mengganggu dan bahkan
menghancurkan ekosistem. Polusi,
perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk merupakan ancaman bagi eksistensi
keanekaragaman hayati. Ancaman ini
mengalami peningkatan sangat signifikan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam
tingkat kepunahan spesies. Para ilmuwan
juga memperkirakan bahwa setengah dari semua spesies di Bumi akan musnah pada
beberapa abad berikutnya. Oleh karena
itu, upaya konservasi sangat diperlukan untuk melestarikan keanekaragaman
hayati dan melindungi spesies yang terancam punah dan habitatnya.
Constanza et al. (2014) misalnya melakukan
penilaian perubahan ekosistem global di muka Bumi. Menurutnya, terjadi perubahan signifikan
terhadap beberapa ekosistem penting di Bumi pada kurun waktu 1997-2011. Permukaan bumi diperkirakan mencapai seluas
51.625 juta hektar, dimana 70 persen diantaranya merupakan ekosistem pesisir
dan laut (36.302
juta hektar) dan 30 persen sisanya merupakan ekosistem teresterial (15.323 juta
hektar). Pada kurun waktu tahun
1997-2011 ini, ekosistem rawa merupakan
ekosistem yang mengalami perubahan yang sangat signifikan, dimana ekosistem ini
mengalami penurunan luas hingga 63,64 persen (dari seluas 165 juta hektar tahun
1997 menjadi hanya 60 juta hektar pada
tahun 2011) atau menurun seluas 4,55 persen per tahun pada periode tahun
1997-2011. Ekosistem terumbu karang (seluas 62 juta hektar pada tahun 1997), kutub
(seluas 743 juta hektar pada tahun 1997), hutan tropis (seluas 1.900 juta
hektar pada tahun 1997) dan mangrove (seluas 165 juta hektar pada tahun 1997) merupakan
lima ekosistem utama yang mengalami penurunan luas, yaitu ekosistem terumbu
karang menurun sebesar 54,84 persen (3,92 persen per tahun) menjadi hanya
seluas 28 juta hektar pada tahun 2011, ekosistem kutub menurun sebesar 41,72
persen (2,98 persen per tahun) menjadi hanya seluas 433 juta hektar pada tahun
2011, ekosistem hutan tropis menurun sebesar 33,79 persen (2,41 persen per
tahun) dan ekosistem mangrove menurun sebesar 22,42 persen (1,60 persen per tahun) menjadi hanya seluas 128 juta
hektar pada tahun 2011.
Penurunan luas ekosistem ini tentu saja
berdampak terhadap eksistensi keanekaragaman hayati yang terkandung di
dalamnya. Ekosistem sendiri mempunyai
empat fungsi utama yang dapat menghadirkan berbagai macam barang dan jasa yang
berguna bagi kesejahteraan manusia, diantaranya: (i) fungsi penyediaan atau
produksi, (ii) fungsi pengaturan, (iii) fungsi pendukung atau habitat, dan (iv)
fungsi budaya atau informasi.
Costanza et al (1997) menyatakan bahwa jasa
ekosistem merupakan layanan dari sistem
ekologi dan stok modal alam yang menghasilkan barang dan jasa yang sangat penting untuk fungsi
sistem pendukung kehidupan bumi. Jasa ekosistem berkontribusi terhadap
kesejahteraan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan karena
itu merupakan bagian dari nilai ekonomi total bumi. Untuk seluruh biosfer, kekayaan dunia berdasarkan nilai jasa yang sebagian besar berada di luar pasar, diperkirakan
berada pada kisaran USD 16-54 triliun/tahun, dengan rata-rata USD 33 triliun/tahun (Costanza et al. 1997).
Mayoritas nilai jasa ekosistem diidentifikasi dengan menggunakan pendekatan
non pasar. Jasa pengaturan gas diperkirakan mencapai sebesar USD 1,3
triliun/tahun, jasa pengaturan gangguan/tekanan mencapai USD 1,8
triliun/tahun, jasa pengolahan limbah mencapai USD 2,3
triliun/tahun dan jasa siklus nutrisi mencapai sebesar USD 1,7 triliun/tahun.
63%
dari nilai estimasi disumbangkan oleh sistem laut dan pesisir, dimana sistem laut menyumbang nilai
ekonomi sebesar USD 20,9 triliun/tahun dan sistem pesisir menyumbang sebesar USD 10,6
triliun/tahun. Adapun sisanya sebesar 38% berasal dari nilai taksiran sistem
terestrial, terutama dari hutan,
yaitu mencapai sebesar USD 4,7 triliun/tahun dan lahan basah mencapai sebesar USD 4,9
triliun/tahun.
Seiring dengan
perubahan luas ekosistem dunia seperti ditunjukkan Costanza et al. (2014), berdasarkan nilai jasa
ekosistem yang dihitung dari nilai ekonomi berbasis harga dasar tahun 2007 dari
masing-masing ekosistem yang mengalami perubahan signifikan di atas, tentu saja
akan berpengaruh terhadap nilai kekayaan aset keanekaragaman hayati dunia. Hasil estimasi Costanza et al. (2014) menunjukkan bahwa kekayaan aset keanekaragaman hayati
terumbu karang mengalami penurunan dari USD 21,7 trilyun/tahun pada tahun 1997
menjadi hanya sebesar USD 9,9 trilyun/tahun pada tahun 2011; ekosistem hutan
tropis menurun dari USD 10,2 trilyun/tahun
menjadi USD 6,8 trilyun/tahun; ekosistem mangrove menurun dari USD 32
trilyun/tahun menjadi sebesar USD 24,8
trilyun/tahun; dan ekosistem rawa
menurun dari USD 4,2 trilyun/tahun mejadi sebesar USD 1,5 trilyun/tahun. Adapun nilai kekayaan ekosistem kutub sampai
saat ini belum dapat diestimasi.
Indonesia,
sebagai negara yang dikenal dengan sebutan “the biggest and the richest
mega-biodiversity in the world” tentu saja harus menjadi salah satu negara
garda terdepan dalam melakukan berbagai upaya perlindungan keanekaragaman
hayati. Bahkan sebelum ditetapkannya
tanggal 29 Desember (pada tahun 1993) yang kemudian dirubah menjadi tanggal 22
Mei (pada tahun 2000) sebagai Hari Internasional untuk Keanekaragaman Hayati
oleh PBB, Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya pada tanggal 10 Agustus 1990. Beberapa pertimbangan lahirnya UU 5/1990 ini
diantaranya adalah:
(i)
bahwa
sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan
serta peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh
karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan
seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat
manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan;
(ii)
bahwa
pembangunan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah
bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan
Pancasila;
(iii)
bahwa
unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling
tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga
kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem;
dan
(iv)
bahwa
untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan
cara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan
keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri.
Tujuan
diterbitkannya Undang-Undang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya (UU
No.5/1990) ini adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam
hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia yang berasaskan
pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dalam
ekosistemnya secara serasi dan seimbang serta merupakan tanggungjawab dan
kewajiban bersama seluruh komponen warga negara Indonesia, baik Pemerintah maupun
masyarakat (termasuk swasta). Beberapa
kegiatan yang dapat dilakukan sesuai amanat Undang-Undang Konservasi Sumberdaya
Alam dan Ekosistemnya ini diantaranya adalah:
(i)
perlindungan
sistem penyangga kehidupan;
(ii)
pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan
(iii)
pemanfaatan
secara lestari sumber daya alami hayati dan ekosistemnya.
Hadirnya
Undang-Undang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya pada tahun 1990 ini
menunjukkan adanya keseriusan Indonesia untuk turut serta dan berpartisipasi
aktif dalam pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia sebagai bagian
integral dari ekosistem dunia. Artinya
bahwa Indonesia mempunyai komitmen untuk melakukan berbagai langkah konstruktif
agar konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya dapat terlaksana dan terwujud
dengan baik. Di dalam penjelasan
Undang-Undang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya ini disebutkan bahwa sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam
hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing
maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk
lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti.
Mengingat
sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting
bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasi. Tindakan yang
tidak bertanggung jawab yang dapat menimbulkan kerusakan pada kawasan suaka
alam dan kawasan pelestarian alam ataupun tindakan yang melanggar ketentuan
tentang perlindungan tumbuhan dan satwa yang dilindungi, diancam dengan pidana
yang berat berupa pidana badan dan denda. Pidana yang berat tersebut dipandang
perlu karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak
dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak
mungkin lagi. Oleh karena sifatnya yang
luas dan menyangkut kepentingan masyarakat secara keseluruhan, maka upaya
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab
dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Peranserta rakyat akan diarahkan dan
digerakkan oleh Pemerintah melalui kegiatan yang berdaya guna dan berhasil
guna. Untuk itu, Pemerintah berkewajiban
meningkatkan pendidikan dan penyuluhan bagi masyarakat dalam rangka sadar
konservasi.
Adapun
keberhasilan konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya berdasarkan penjelasan
UU No.5/1990 ini diantaranya mencakup tiga sasaran utama konservasi,
diantaranya adalah :
(i)
menjamin
terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi
kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem
penyangga kehidupan);
(ii)
menjamin
terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya
sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang
memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam
hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah); dan
(iii)
mengendalikan
cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya.
Akibat sampingan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum
harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta belum berhasilnya sasaran
konservasi secara optimal, baik di darat maupun di perairan dapat mengakibatkan
timbulnya gejala erosi genetik, polusi, dan penurunan potensi sumber daya alam
hayati (pemanfaatan secara lestari).
Berdasarkan data
dari Buku Rekalkulasi Penutupan Lahan
Indonesia 2014-2018 yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(2018), Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman
hayati dari ekosistem hutan seluas
120.385.700 hektar pada tahun 2018 atau menurun seluas 384.600 hektar (0,32
persen) dibandingkan pada tahun 2014 (120.770.300 hektar). Sedangkan pada ekosistem pesisir dan laut berdasarkan data yang ada pada
buku Statistik Sumberdaya Pesisir dan Laut di Indonesia Tahun 2016 yang
dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2016), tercatat bahwa luas
masing-masing ekosistem di Indonesia diantaranya : mangrove mencapai seluas
3.668.345,60 hektar, lamun seluas 474.920,93 hektar dan terumbu karang seluas
2.424.721,23 hektar. Jika mengacu kepada
nilai yang diberikan oleh Costanza et al.
(2014) yang menyatakan bahwa nilai aset sumberdaya alam hutan tropis, mangrove,
lamun dan terumbu karang masing-masing sebesar USD 5.382/ha/tahun, USD 193.843/ha/tahun, USD 28.916/ha/tahun dan USD
352.249/ha/tahun, maka dengan tidak menggunakan pendekatan penyesuaian apapun
dalam perhitungan berbasis pendekatan benefit
transfer method (BTM), maka nilai kekayaan aset keanekaragaman hayati
Indonesia dari hanya ekosistem hutan tropis, mangrove, lamun dan terumbu karang
saja telah mencapai sebesar USD 2,23 trilyun/tahun. Dengan nilai kekayaan aset sebesar ini, maka sudah sepantasnya
Indonesia secara aktif dan pro-aktif melakukan berbagai upaya pengelolaan
keanekaragaman hayati secara optimal dan berkelanjutan agar keanekaragaman hayati yang ada tetap
dapat memberikan manfaat ekologis, sosial dan ekonomi bagi sebesar-besarnya
kesejahteraan manusia, khususnya rakyat Indonesia.
Sebagai makhluk sosial dan seorang
hamba dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang dijadikan sebagai khalifah di
muka bumi (QS. Al Baqarah: 30; An Naml: 62; Faatir: 39; Al A’raaf: 129; dan
Shaad: 26), dimana diingatkan Allah SWT kepada kita bahwa telah nampak
kerusakan di darat dan laut akibat ulah manusia (QS. Ar Ruum: 41), maka sudah
menjadikan menjadi keharusan, tanggungjawab dan kewajiban kita untuk menjaga
amanah yang telah dikaruniakan-Nya sebagai jalan ibadah, karena manusia memang
diciptakan untuk menjalankan ibadah kepada-Nya sebagai bentuk pengabdian
seorang hamba kepada Penciptanya (QS. Adz Dzaariyaat:
56).
Betapa besar
karunia yang telah diberikan kepada manusia, khususnya rakyat Indonesia, yang
telah diamanahkan Bumi untuk dapat hidup dan berkembang biak serta mendapatkan
manfaat bagi kesejahteraannya. Kekayaan
aset sumberdaya alam yang demikian besar yang dihadiahkan sebagai amanah dan
tanggungjawab tersebut harus dijaga keberlanjutannya agar generasi yang akan
datang tetap dapat memperoleh manfaat dan kesejahteraan yang minimal sama. Sungguh tanda-tanda kebesaran Allah SWT telah
ditunjukkan dengan begitu nyata dan terang benderang, maka nikmat, rahmat dan
karunia itu harus disyukuri dengan berbagai macam aktivitas yang membawa
kemaslahatan bagi semua (rahmatan lil alamin), salah satunya dengan menjaga
keberlanjutan keanekaragaman hayati tersebut, sehingga kita terhindar dari
kerusakan yang berkepanjangan dan mendatangkan musibah yang akan memberikan
kerugian besar, baik berupa kerugian material maupun non material. Dengan menjadi bagian integral dari upaya
menjaga Ketahanan Keanekaragaman Hayati,
sesungguhnya kita berpartisipasi dalam mengelola Keberlanjutan Masa Depan Dunia.