Fakultas Ilmu Sosial, Ilmu Politik dan Ilmu Komputer (FISIPKOM) UNIDA bekerja sama dengan Liputan6.com dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Bogor selenggarakan Webinar Nasional yang bertajuk Berantas Hoaks melalui Media Digital Sambut Pemilu bagi Pemilih Pemula. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui paltform Zoom Meetings Cloud dan live di Youtube Channel Commap TV pada Selasa, 28 Maret 2023. Webinar ini diisi oleh Dosen Program Studi (Prodi) Administrasi Publik FISIPKOM UNIDA, M. Yusuf Gotfridus Goris Seran, Drs., M.Si, Wakil Dekan Non Akademik FISIPKOM UNIDA, Maria Fitriah, S.Sos., M.Si, Dosen Prodi Ilmu Komputer FISIPKOM UNIDA, Uus Firdaus, S.Kom., M.T.I, Koordinator Divisi SDM, Organisasi dan Diklat Bawaslu Kabupaten Bogor, Naotalia Apapyo, S.Psi dan Redaktur Pelaksana Liputan6.com, Edu Krisnadefa, S.H., M.H serta dihadiri oleh Dekan FISIPKOM UNIDA, Hj. Ginung Pratidina, Dra., M.Si beserta jajaran.

Webinar Nasional tersebut digelar dalam rangka Milad ke-36 UNIDA dan dalam rangka menyambut Pemilu tahun 2024.

Dekan FISIPKOM UNIDA, Hj. Ginung Pratidina, Dra., M.Si dalam sambutannya menyampaikan ucapan terima kasih kepada para narasumber dan panitia serta seluruh pihak yang terkait dengan Webinar Nasional ini. Dalam Milad ke-36 UNIDA setiap fakultas yang ada dilingkungan UNIDA baiknya memperingati milad dengan berbagai kegiatan dan Webinar Nasional ini merupakan persembahan FISIPKOM UNIDA untuk milad UNIDA.

“FISIPKOM memiliki 3 prodi yaitu Administrasi Publik, Sains Komunikasi dan Ilmu Komputer dan ketiganya dikaloborasikan kepada tema kegiatan Webinar Nasional kali ini. Semoga webinar ini berjalan dengan lancar sampai selesai nanti serta memberikan banyak manfaat untuk kita semua,” tuturnya.

Selanjutnya Dosen Prodi Administrasi Publik FISIPKOM UNIDA, M. Yusuf Gotfridus Goris Seran, Drs., M.Si dalam paparan materinya yang berjudul Hantu-Hantu Pemilu menyatakan bahwasanya jika berbicara mengenai Pemilu di tahun 2024 dapat dilihat baik dari politik elektoral maupun demokrasi konstitusional. Dan jika dilihat dari politik elektoral yaitu transfer kekuasaan melalui Pemilu dan ada berbagai macam pengertian lainnya baik dari politik elektoral maupun demokrasi konstitusional. Dan mengenai hantu-hantu Pemilu yang dimaksud adalah ruh atau pikiran yang kontradiktif terhadap demokrasi elektoral sebagaimana yang termuat dalam konstitusi diantaranya yaitu penundaan Pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden, politik identitas yang dimana demokrasi kuantitatif yaitu konsentrasi pemilih di pulau Jawa dan calon berasal dari suku Jawa sehingga potensial memenangkan Pemilu serta kurang membuka peluang bagi calon dari daerah atau suku lain, ambang batas (threshold) yang diantaranya parliamentary dan presidential thresholds, sistem proporsional serta untuk hantu Pemilu yang terakhir adalah peradilan Pemilu.

“Sedangkan yang faktor-faktor yang menjadikan hantu-hantu Pemilu tersebut ada diantaranya yaitu faktor kesehatan demokrasi yang disebut sebagai konsolidasi demokrasi belum terbentuk dan dua faktor penyebabnya yaitu syahwat kuasa elite politik baik partai politik maupun kandidat serta perilaku memilih pemilih yang cenderung pragmatis ketimbang ideologis,” ungkapnya.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Divisi SDM, Organisasi dan Diklat Bawaslu Kabupaten Bogor, Naotalia Apapyo, S.Psi dalam paparannya mengenai Hoaks dalam Pemilu menyatakan bahwa hoaks dapat merusak meriahnya pesta Pemilu, infomarsi Hoaks merupakan berita yang kebenarannya masih diragukan. Hoaks banyak tersebar dimedia digital dan tertinggi mengenai politik termasuk pemilu dan lainnya. Hoaks ini menjadi tantangan yang memmperthantinkan kepada Indonesia, kanal yang biasanya diapakai yaitu media sosial. Pemilu bukan hanya mahasiswa dan lainnya akan tetapi TNI dan Polri yang baru pensiun pun merupakan pemilih pemula. Hoaks adalah kepalsuan yang sengaja dibuat untuk menyaru sebagai kebenaran. Hoaks dalam pemilu merupakan persaingan politik Pemilu pada ruang digital yang dilakukan dengan berbagai cara pada akhirnya memanfaatkan hoaks, berita bohong, politik identitas maupun propoganda untuk memenangkan konstestasi politik.

“Adapun cara untuk menangkal hoaks dalam Pemilu tentu harus cerdas dalam memanfaatkan media digital secara baik dalam dalam arti tepat guna, aman sesuai etika, budaya dan norma yang berlaku. Dan dalam penangkalan juga masyarakat perlu literasi digital yang mempuni dapat menjadi ampuh untuk menangkal informasi hoaks terutama literasi membaca,” tuturnya.

Sementara itu, Redaktur Pelaksana Liputan6.com, Edu Krisnadefa, S.H., M.H dalam paparannya mengenai Literasi Digital, Post-Truth dan Pisau Medsos menyatakan bahwa literasi digital merupakan kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti komputer dan yang menjadi 4 pilar literasi digital adalah digital culture, digital ethics, digital safety dan digital skills. Dan untuk Post-Truth adalah kebenaran yang sudah ada atau pasca kebenaran. Post-Truth itu dapat diartikan juga sebagai menilai suatu berita atau informasi bukan berdasarkan objektivitas namun berdasarkan emosi dan keyakinan sehingga ini menjadi bahaya, masalahnya Post-Truth ini menjadi tidak rasional karena lebih meninggikan emosi.

“Post-Truth ini juga dapat dikatakan mirip hoaks karena post-truth ini juga dikemas seperti berita-berita bombastis, mengabaikan fakta dan data, sering gunakan data palsu dan tidak jelas kebenarannya. Post-truth dan media sosial dimana informasi yang jauh lebih riuh dan bising melalui media sosial dimanfaatkan oleh kebohongan-kebohongan buatan ala post-truth untuk menggiring publik untuk berasumsi bahwa kebohongan tadi adalah kebenaran. Sehingga media sosial merupakan pisau bermata dua, media sosial bisa jadi positif dan bisa juga menjadi negatif,” pungkasnya.