Mengawali kegiatan perkuliahan tahun akademik 2023/2024, Sekolah Pascasarjana Universitas Djuanda (UNIDA) menyelenggarakan Kuliah Perdana dengan mengangkat tema bertajuk “Kejahatan Bisnis di Tahun Politik 2024”, pada Sabtu (23/09/2023) di Ruang Serba Guna Sekolah Pascasarjana, Kampus UNIDA.
Kuliah Perdana ini menghadirkan Wakil Ketua KPK Periode 2011-2015 yang juga merupakan Ketua Umum Yayasan Pendidikan Amaliah Djuanda Dr. Bambang Widjojanto, dengan dipandu oleh Wakil Dekan Bidang Akademik Sekolah Pascasarjana UNIDA Dr. Muhammad Luthfie, Drs., M.Si.
Hadir memberikan sambutan, Plt. Dekan Sekolah Pascasarjana UNIDA Dr. Hj. Endeh Suhartini, S.H., M.H menyampaikan, kegiatan kuliah perdana ini diharapkan dapat memberikan stimulus kepada para mahasiswa baru program magister untuk terus semangat dalam menimba ilmu.
“Kuliah perdana hari ini diisi oleh Ketua Umum Yayasan kita, Dr. Bambang Widjojanto, yang mana beliau adalah tokoh nasional. Sudah hadir di tengah-tengah kita untuk memberikan ilmu dan membagikan pengalamannya. Untuk itu, mari ikuti kegiatan kuliah perdana ini dengan baik, manfaatkan waktu ini untuk bisa kita belajar,” tutur Dr. Hj. Endeh Suhartini, S.H., M.H dalam sambutannya.
Pada kesempatan ini, Dr. Bambang Widjojanto sebagai narasumber menyampaikan pemaparan berkaitan dengan tema, yakni “Kejahatan Bisnis di Tahun Politik 2024”.
Dalam awal pemaparannya, Dr. Bambang Widjojanto menjelaskan bahwa tantangan kejahatan di tahun politik adalah kejahatan bisnis politik yang potensial memiliki dampak besar pada proses demokrasi. Kejahatan bisnis politik merupakan kombinasi, pertemuan dari perspektif economic crime dengan kejahatan politik yang biasa terjadi di tahun politik.
“Apa bahayanya? Kalau sampai kejahatan bisnis politik ini terjadi, yang kemudian bekerja secara sistematik, maka proses demokrasi kita menjadi tidak berguna. Kegagalan dalam proses demokrasi akan mendistorsi pelembagaan negara hukum, mendelegitimasi perlindungan HAM dan menegasikan upaya mewujudkan keadilan,” paparnya.
Dr. Bambang Widjojanto mengatakan, sesuai dengan konstitusi, Indonesia diproklamasikan agar dapat mewujudkan keadilan dalam bingkai sebuah negara hukum dengan mengedepankan perlindungan HAM untuk kepentingan respublica. Oleh karena itu, pada konteks kontemporer, Indonesia memerluka restorasi dengan cara mendorong agar terjadi proses kebangkitan bangsa untuk dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan tersebut.
“Tahun 2023 hingga 2024 ini bisa disebut sebagai tahun politik. Dalam perspektif sosiologis, kejahatan akan selalu hadir dalam suatu periode situasi tertentu. Dulu dalam perkembangan digital, ada muncul cyber crime. Lalu yang terjadi dalam suatu siklus tahun politik, maka dapat disebut sebagai kejahatan yang mempunyai relasi dengan kejahatan politik. Ada yang khas dalam proses politik di Indonesia, kepentingan bisnis, khususnya konglomerasi selalu berhimpitan dalam proses politik sebagai konsekuensi dari high cost politics, yang pada titik inilah dapat terjadi kejahatan bisnis politik,” ujar Dr. Bambang Widjojanto menjelaskan.
Lebih jauh, Dr. Bambang Widjojanto mengemukakan mengenai high cost politics. Secara akumulatif, jumlah ongkos politik, meliputi biaya kampanye sampai dengan saksi. Pada Pemilu tahun 2024, minimal ada 2 atau 3 pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pilpres, serta ada 38 kursi gubernur dan 514 posisi Bupati/Walikota yang umumnya diperebutkan oleh lebih dari 2 hingga 3 calon.
Berdasarkan survei KPK, ongkos politik menjadi calon Bupati /Walikota mencapai Rp 20-30 miliar per-pasangan, sedangkan Gubernur mencapai Rp 100 miliar. Sementara riset dari Prajna Research Indonesia menyebutkan, biaya branding politik untuk bersaing merebut 1 kursi DPRD Provinsi antara Rp 500 juta-Rp 1 miliar, dan Rp 250 juta-Rp 300 juta untuk satu kursi DPRD kabupaten/kota.
Mahalnya ongkos politik ini menyebabkan adanya indikasi oligarki yang menjadi bagian praktik kejahatan bisnis politik. Oligarki adalah bentuk struktur kekuasaan di mana kekuasaan berada di tangan segelintir orang.
“Oligarki ini akan memproduksi kejahatan bisnis politik dengan menggunakan tangan kekuasaan dan menginstrumentasi proses penegakan hukum. Itu sebabnya ada begitu banyak kasus yang digunakan untuk mendapatkan capital gain,” terangnya.