OPINI – Physical distancing dilakukan berdasarkan penelitian bahwa covid-19 menyebar melalui droplets yang dapat berpindah dari seorang carrier kepada orang lain. Jarak 1-1,5 m dianggap sebagai jarak aman. Saat berkumpul, bekerja atau melakukan aktivitas bersama tentu sulit mempertahankan jarak aman ini.

Penelitian yang menyebutkan bahwa covid-19 dapat bertahan di benda-benda tertentu menyebabkan adanya kemungkinan orang sehat tetap dapat tertular meskipun telah menjaga jarak aman dengan carrier. Kebiasaan menyentuh mulut, hidung dan menggosok mata menyebabkan kemungkinan ini semakin besar.

Tidak pernah ada jaminan apakah seseorang dapat menjaga dirinya selalu dalam jarak aman, tidak memegang benda yang terkena droplets covid-19 atau tidak menyentuh mulut, hidung dan menggosok mata selama berinteraksi dengan carrier. Oleh karenanya gerakan di rumah saja menjadi satu-satunya upaya yang dapat dilakukan.

Pandemi covid-19 dan anjuran melakukan physical distancing menyisakan pertanyaan, apakah covid-19 akan menyebabkan kita kehilangan kekerabatan, kehangatan hubungan dengan saudara, tetangga, rekan pengajian, sesama orang tua murid atau teman-teman sepekerjaan ?

Physical distancing menggerus kebiasaan yang telah membudaya di sebagian besar masyarakat Indonesia. Bersalaman, berpelukan dan cipika cipiki merupakan kebiasaan yang menghangatkan sebuah pertemuan. Gathering atau makan-makan menjadi budaya sebagian besar perusahaan dan komunitas.

Kita tentunya mengenal dengan baik makan-makan bersama sebelum bulan puasa yang dikenal dengan istilah cucurak, dan pertemuan setelah hari raya idul fitri yang dikenal dengan istilah Halal Bil Halal. Arisan, persiapan hajatan di desa-desa, peringatan hari keagamaan, ulang tahun dll selalu ditandai dengan berkumpul.

Ngobrol lama sambil ngopi atau ngeteh bersama teman atau sejawat atau kita kenal sebagai “nongkrong” bahkan telah diakui sebagai kebiasaan masyarakat Indonesia oleh The New York Times (Mei 2012) dengan mengartikan nongkrong sebagai “……. a word for sitting, talking and generally doing nothing : nongkrong”.

Apakah benar berkumpul bagi masyarakat Indonesia adalah doing nothing?

Sejak lama kita mengenal modal sosial. Menurut UN-Habitat (2016) aspek sosial merupakan aspek penting kesejahteraan manusia. Hal ini disepakati oleh OECD (2015). Kebahagiaan dan hubungan sosial yang baik mendukung kualitas kesehatan (Arundel Ronald, 2017; Glaeser, Henderson & Inman, 2000), mendukung kualitas kehidupan (Hamdan, Yusof, & Marzukhi, 2014) dan mendukung keberlanjutan kehidupan sosial di perkotaan (Yoo & Lee, 2016).

Berkumpul atau nongkrong bukan hanya sekedar kebiasaan yang tidak berarti apa-apa. Di dalam aktivitas berkumpul atau nongkrong terdapat upaya untuk melepaskan kepenatan bekerja, menjalin jejaring kerjasama dan membangun kedekatan hubungan yang keseluruhannya berdampak pada kesehatan sosial, dan juga ekonomi. Seorang Muslim mengenal istilah “silaturahmi mendatangkan rejeki” dan ilmu manajemen memperkenalkan istilah “If everyone is moving forward together, then success takes care of itself” (Henry Ford).

Berkumpul bagi masyarakat Indonesia adalah doing something. Something important.

Lantas apakah covid-19 melalui anjuran physical distancing merusak sesuatu yang penting tersebut? Beberapa hal dapat menjadi pertimbangan.

Pertama, ada saatnya mengorbankan sesuatu yang penting untuk hal yang lebih penting. Physical distancing saat ini dilakukan untuk menyelamatkan jiwa manusia. Tidak ada penelitian yang dapat memastikan bahwa sesorang akan sepenuhnya dapat terhindar dari paparan covid-19 dan terlebih lagi tidak ada penelitian yang menemukan bahwa setelah terkena virus seseorang dapat bertahan hidup.

Kekuatan imunitas tubuh manusia yang diyakini dapat menyebabkan sesorang bertahan dari serangan covid-19 menjadi sangat relatif. Ilmu kedokteran memperkenalkan badai cytokine untuk menjelaskan bagaimana imun tubuh yang berlebihan juga berdampak buruk bagi daya tahan tubuh dalam menghadapi serangan covid-19. Tidak adanya obat dan belum ditemukannya vaksin pencegah covid-19 menyebabkan waspada untuk mencegah penularan sebagai satu-satunya hal yang dapat dilakukan saat ini.

Pastikan orang-orang tersayang, rekan kerja dan saudara kita dapat ditemui dalam keadaan sehat saat badai pandemik ini berlalu. Ini lebih membahagiakan daripada menemui mereka di tempat peristirahatan terakhirnya.

Kedua, kemajuan teknologi menyebabkan batas-batas fisik dapat dikurangi. Fisik bisa saja tidak berdekatan. Tetapi komunikasi tetap dapat dilakukan. Saat ini rapat dan mengajar dapat dilakukan melalui media online. Menelpon keluarga dapat menggunakan video call.

Kedekatan emosional, hubungan sosial dan pekerjaan masih dapat dilakukan melalui media-media sosial. Keberadaan media saat melakukan physical distancing dapat mendukung perubahan kebiasaan dari komunikasi langsung menjadi komunikasi melalui media sebagai proses adaptasi terhadap keterbatasan untuk melakukan komunikasi langsung.

Ketiga, jangan lama-lama. Bagi masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan hubungan sosial secara fisik, berkomunikasi via media online tentunya tidak sama dengan bertemu langsung. Kebosanan tinggal di rumah, tekanan isu media dan perasaan takut dapat membuat orang tidak tahan dan memerlukan interaksi fisik dengan keluarga, rekan kerja atau tetangga.

Di sisi lain, banyak karakter pekerjaan yang tidak dapat menunda lama untuk tidak melakukan interaksi fisik. Pada jangka panjang physical distancing tidak hanya mempengaruhi modal sosial. Industri manufaktur, retail, industri jasa angkutan, industri jasa pariwisata dan makanan, serta industri yang mengandalkan produksi massa akan hancur. Pada satu titik, modal sosial tentunya bukan satu-satunya pertimbangan. Keberlanjutan ekonomi dan modal kapital menjadi mutlak untuk diperhatikan. Untuk itu, physical distancing jangan lama-lama.

Agustina Multi Purnomo, S.P., M.Si.

(Anggota Dewan Pendidikan Kota Bogor, Puspaga Kota Bogor, Kahmi Bogor, dan Dosen Sains Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Djuanda (UNIDA) Bogor)

Sumber : https://headlinebogor.com/opini/agustina-m-purnomo-modal-sosial-dan-physical-distancing/3