Ijtihad Shalat Jum'at di Monas Oleh Inayatullah Hasyim. Dosen Universitas Djuanda Bogor. Suatu hari, Rasulallah SAW mengirim pasukan ke wilayah Bani Quraizah, dan berpesan kepada para sahabatnya itu, ?Janganlah kalian shalat Asar kecuali di (wilayah) Bani Quraizah?. Sebuah pesan yang sangat tegas dan jelas. Lalu berangkatlah pasukan itu. Namun, di tengah perjalanan, waktu shalat Asar telah tiba. Sebagian sahabat berijtihad dengan langsung menunaikan shalat Asar. Menurut mereka, esensi pesan Rasulallah SAW adalah agar kita bersegera, bukan menunda shalat. Namun, berhubung kita telat, maka kita tetap harus menunaikan shalat Asar walaupun belum sampai di Bani Quraizah. Sebagian shabat Nabi yang lain tetap berpegang teguh kepada pesan tekstual Rasulallah SAW, hingga mereka mengakhirkan shalat Asarnya. Dalam sejarah fiqh Islam, peristiwa ?selisih faham para shabat Nabi? itu kemudian menjadi dalil tentang dibolehkannya ijtihad dalam mengambil sebuah keputusan hukum, bahkan di era ketika Rasulallah SAW masih hidup. Dalam hadits lain tentang ijtihad, Rasulallah SAW menegaskan, jika seseorang berijithad, dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan jikapun ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala. Ijtihad para ulama di Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menggelar shalat Jum?at di lapangan Monumen Nasional (Monas) harus dipandang dari titik hadits di atas. Oleh karena itu, ada tiga hal yang menarik dibincangkan di sini: Hal Pertama: bahwa MUI tengah berijtihad untuk kemaslahan bangsa yang lebih luas, yaitu keutuhan NKRI. Memperdebatkan sah atau tidak shalat Jum?at di luar masjid menjadi tidak relevan dalam situasi bangsa yang tengah terancam disintegrasi. Fiqh secara harfiyah berarti faham. Ilmu fiqh berkembang menjadi ilmu yang mempelajari seluk beluk ibadah secara mendetail. Para ulama di MUI nampaknya menggunakan pendakatan fiqh dalam pengertian awal, yaitu pemahaman. Dan kali ini, maslahah yang hendak dicapai adalah hifz din dalam wujud keutuhan bangsa. Dalam kitab al-Muwafaqat, Imam Syatibi menulis tentang teori maslahah dalam hukum Islam. Menurut beliau, semua hukum Islam harus diletakkan dalam kerangka maslahat; dan maslahat tertinggi adalah hifz-din (menjaga agama). Kasus penistaan agama oleh Tersangka Gubernur Ahok adalah contoh nyata bagaimana kita wajib mendahulukan hifz-din di atas persoalan perdebatan fiqh. Maka, menunaikan shalat Jum?at di Monas harus dipandang dalam kerangka teori maslahah tersebut. Hal kedua: soal penistaan agama memang tidak bisa dipandang remeh. Belajarlah dari pengalaman kasus Asia Bibi di Pakistan. Asia Bibi adalah seorang buruh harian pemetik buah. Suatu hari, dia bertengkar dengan buruh lainnya. Namun, saat bertengkar, dia berbicara yang menistakan agama karena menghina kemuliaan Rasulallah SAW. Oleh buruh lainnya, perbuatan Asia Bibi dilaporkan ke aparat kepolisian. Asia Bibi lalu disidangkan, dan divonis mati!. Kini perkara Asia Bibi berada di tingkat Mahkamah Agung, menunggu putusan akhir. Namun, belum lagi perkara Asia Bibi ini tuntas, sudah ada tiga nyawa yang melayang.? Pertama: Menteri Urusan Minoritas Shahbaz Bhatti yang berkomentar, ?saya akan memperjuangkan agar Asia Bibi dibebaskan?. Ia lalu didor orang di dekat rumahnya di Islamabad, ibukota Pakistan. Kedua: Gubernur Punjab Salman Tasir. Saat habis menjenguk Asia Bibi di penjara, dia berkomentar; ?hukum penistaan agama adalah hukum zaman kegelapan?. Dia lalu ditembak mati oleh Mumtaz Malik Qadri, ajudannya sendiri. Ketiga: Mumtaz Malik Qadri lalu ditangkap polisi, dan didakwa telah membunuh majikannya. Ia divonis mati oleh Pengadilan. Saat di persidangan, Mumtaz Qadri menyatakan tidak menyesal sedikitpun membunuh majikannya demi menjaga kemuliaan Rasulallah SAW. Karena itu, pertemuan semua elemen bangsa di Aksi Bela Islam jilid 3 harus dipandang sebagai mahar, bukan makar. Inilah mahar terindah yang dipersembahkan oleh para ormas Islam untuk bangsa Indonesia. Mereka akan berdoa memohon keselamatan bangsa, para penguasa negeri ini berani menegakan hukum seadil-adilnya untuk menghindari perpecahan bangsa. Hal Ketiga: shalat Jum?at di Monas adalah romantisme sejarah yang membuktikan peran umat Islam.? Konon, (harap dibaca betul kata ?konon?-nya) ketika K.H. Wahid Hasyim, tokoh Nahdhatul Ulama dan ayah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menjabat sebagai Menteri Agama di era Orde Lama, Presiden Soekarno meminta kepada beliau agar sebagian dana rencana pembangunan masjid istiqlal yang didapat dari sumbangan Timur Tengah diberikan ke negara untuk membangun Monumen Nasional (Monas). Bagaimana bisa, uang masjid untuk nambahin bikin Monas?. Bung Karno berargumen, mengapa harus Monas yang diprioritaskan? Kata beliau, jika aku mati saat Monas dan Istiqlal dibangun, maka bisa aku pastikan, Istiqlal pasti selesai. Sebab, membangun masjid adalah membangun rumah Tuhan, sehingga sekalipun aku mati ketika masjid itu belum selesai, tak satu pun yang bisa menghentikan pembangunannya. Tapi tidak demikian halnya dengan Monas. Jika aku mati, belum tentu penggantiku meneruskan pembangunannya. ? Akhirnya, Kyai Wahid setuju. Dan Monas pun selesai dibangun. Jum?at tanggal dua Desember mendatang, Monas akan jadi masjid sementara. Di atas taman nasional itu, rencananya seorang kyai Nahdhatul Ulama akan menjadi khatib Jum?at. Ya, beliau adalah K.H. Ma?ruf Amin, Rais Aam Syuriah PBNU dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Istiqlal dan Monas adalah dua bangunan bersejarah yang tak pernah bisa dipisahkan dari peran umat Islam. Dan para ulama kembali membuktikan perannya kali ini dalam mempertahankan aqidah umat dan keutuhan NKRI. ? Wallahua?lam. sumber berita universitas djuanda : https://t.co/fTQWczjIRz