Pernyataan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Kasus COVID-19, Achmad Yurianto Mengenai “Yang Miskin melindungi Yang Kaya agar tidak menularkan penyakitnya” menimbulkan kontroversi. Komentar-komentar pedas ditujukan kepada Jubir Pemerintah tersebut, isi komentar sebagian besar menyalahkan pernyataan bahwa hanya Yang Miskin yang dapat menularkan covid-19. Meskipun telah diklarifikasi semalam, kontroversi telah terlanjur terbangun.
Kemunculan kasus pertama covid-19 di suatu negara (kecuali Cina) sebagian besar dimulai dari WNA atau WN yang pernah melalukan kunjungan ke negara yang terinfeksi. Hal serupa terjadi di Indonesia. Kasus orang terinfeksi covid-19 pertama di Indonesia yang diumumkan Presiden adalah kasus di mana orang yang terinfeksi berinteraksi dengan WN Jepang. Ia adalah seorang dosen dan kedua putrinya. Secara status sosial ekonomi (profilnya sudah tersebar dan gambar rumahnya terpampang di TV Nasional) mereka bertiga tidak masuk dalam kategori miskin baik miskin menggunakan ukuran UNDP atau menurut pemerintah Indonesia. Mereka dapat dikatakan kalangan menengah di Indonesia. Selanjutnya, kasus-kasus yang ditenggarai sebagai titik-titik awal penyebaran covid-19 di Indonesia adalah Seminar Flatform Bisnis Tanpa Riba dan GPIB yang keduanya diselenggarakan di hotel. Sampai sekarang Pemkab Bogor dikabarkan media belum berhasil mendapatkan rincian peserta. Namun, dari sisi lokasi penyelenggaraan, kedua seminar tersebut cukup untuk dikatakan diselenggarakna untuk kalangan menengah.
Lantas, bagaimana Yang Miskin dapat menyebarkan covid-19? Yang Miskin tentunya tidak bisa jalan-jalan ke luar negeri. Hidup sehari-hari saja pas-pasan. Penghasilan sebulan mungkin malah tidak cukup untuk sekedar makan, menutupi biaya sekolah anak atau membayar cicilan. Yang Miskin tidak bisa mengikuti seminar-seminar di hotel besar. Yang Miskin juga jarang-jarang mengakses lokasi perkantoran, pusat perbelanjaan, pusat hiburan, atau tempat rekreasi yang saat inj ditutup untuk menghindari pengumpulan massa. Yang Miskin mungkin datang ke mesjid untuk jumatan, pengajian atau sholat berjamaah. Yang Miskin mungkin juga datang ke gereja, pura, atau wihara yang sekarang dihimbau supaya tidak lagi menyelenggarakan ibadah yang memungkinkan jemaat berkumpul.
Lantas apakah hanya karena Yang Miskin dapat datang ke tempat ibadah dan bertemu dengan Yang Kaya maka Yang Miskin bisa menjadi “tersangka utama” penyebaran covid-19?
Tentu kesimpulan ini terlalu dini dan nyaris naif untuk diambil.
Namun, jika dilihat dari sudut pandang lain, meskipun belum siap untuk diterima, Indonesia saat ini adalah negara yang melaporkan transmisi lokal. Kemenkes telah memperbarui definisi ODP pada tanggal 16 Maret 2020. Saat ini ODP diartikan sebagai orang yang mengalami gejala terinfeksi covid-19 dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di luar negeri yang melaporkan transmisi lokal atau memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di area transmisi lokal di Indonesia (Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, Maret 2020). Hingga hari ini, 7 provinsi telah ditetapkan sebagai wilayah transmisi lokal penularan covid-19.
Lantas apa hubungannya dengan “status terduga” Yang Miskin?
Saat ini tidak hanya Yang Kaya yang mampu jalan-jalan ke area transmisi lokal di luar negeri yang dapat menjadi ODP atau PDP. Tetapi juga Yang Miskin yang pernah berkunjung atau tinggal di area transmisi lokal di Indonesia.
Yang Miskin sekarang memiliki peluang yang lebih besar untuk tertular atau menularkan daripada Yang Kaya, karena?
Pertama, kemampuan Yang Miskin untuk menerapkan strategi physical distancing dengan cara tinggal di rumah saja memiliki ambang batas yang lebih rendah dibanding Yang Kaya. Untuk tinggal di rumah atau kerja dari rumah, pertama-tama adalah jenis pekerjaannya harus bisa dikerjakan di rumah. Yang Kaya tentu tidak perlu berjualan keliling atau menjadi buruh harian untuk dapat bertahan hidup. Mereka dapat bekerja dan berinteraksi dengan menggunakan media online. Jika pun Yang Kaya memutuskan untuk tidak bekerja, mereka memiliki tabungan untuk dapat bertahan tinggal di rumah. Sedangkan Yang Kaya? mereka terpaksa harus ada di luar rumah dan berhadapan dengan resiko terinfeksi virus.
Kedua, Yang Kaya dapat tetap menjaga jarak aman saat harus keluar rumah dengan menggunakan kendaraan pribadi. Yang Miskin harus berdesak-desakan di kereta atau bis. Yang Kaya dapat menyeleksi teman perjalanan agar dapat meminimumkan resiko terinfeksi. Yang Miskin harus mempertaruhkan resiko terinfeksi hanya untuk mengurangi biaya transportasi atau karena memang tidak ada pilihan transportasi lain.
Ketiga, kurangnya pengetahuan, keingintahuan dan kesadaran dari Yang Miskin. Bagian ini, seringkali menjadi alasan penyalahan Yang Miskin. Yang Miskin dianggap manusia bebal yang tidak pernah mau tahu dan tidak mau mengerti. Bahaya covid-19 dianggap tidak cukup dimengerti oleh Yang Miskin sehingga sulit untuk menerima dan menerapkan pengamanan diri pribadi. Namun ingat, Oscar Lewis mengatakan, kemiskinan bukan hanya disebabkan karena budaya malas, tidak mau tahu atau tidak mau berusaha, namun kemiskinan sendiri melahirkan budaya. Sikap tidak mau melakukan pengamanan diri pribadi mungkin karena keadaan hidup mengajarkan untuk pasrah dan menjalani hidup tanpa perlu banyak rencana dan khawatir. Ini dapat dilihat dari sepinya jalan raya, perkantoran, kompleks perumahan di kota yang tidak seimbang dengan suasana yg nyaris normal di perkampungan di kota.
Keempat, kemungkinan Yang Miskin segera berobat jika telah mengalami gejala covid-19 lebih sedikit dibanding Yang Kaya. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 menyampaikan saat status seseorang ditetapkan sebagai ODP, ia diwajibkan isolasi sendiri di dalam rumah. Spesimen diambil oleh petugas laboratorium setempat. Setelah dinyatakan positif atau menunjukkan gejala PDP, pasien akan dirujuk ke rumah sakit rujukan. Jaminan pengobatan gratis diberikan saat pasien ditetapkan sebagai PDP dan positif covid-19. Namun, bagaimana saat ia masih dalam status ODP? Keterlambatan deteksi individu terhadap gejala infeksi covid-19 dapat membuat Yang Miskin tetap bekerja dan beraktivitas di luar rumah.
Lantas apa hasil dari keempat hal tersebut? Yang Miskin yg menjadi ODP bahkan PDP (terutama pada kasus PDP dengan gejala ringan? dapat terus berada di tempat kerja, di kereta, di bis, bahkan nongkrong di warung kopi. Saat itulah apa yg disampaikan Jubir Pemerintah ini terjadi. Yang Miskin menularkan covid-19, tidak hanya pada Yang Kaya namun terutama pada Yang Miskin lainnya.
Apakah seorang Jubir Pemerintah berhak menyampaikan statement seperti itu?
Kembali kepada keempat penyebab si miskin potensial menjadi penyebab virus, jika tidak ingin si miskin menyebarkan virus maka lakukan hal-hal yang membuat si miskin tetap tinggal di rumahnya. Apakah hal tersebut? 1. Jamin kebutuhan dasar hidup selama masa karantina, 2. Jamin bahwa mereka tidak akan kehilangan pekerjaan setelah pandemik covid-19 berlalu, 3. Jamin mereka tidak dikejar-kejar cicilan utang, dan 5. jamin akses fasilitas layanan kesehatan untuk mereka. Jika dianggap mereka tetap tidak akan patuh, lantas harus bagaimana? Indonesia memiliki UU Kekarantinaan Kesehatan yang dapat menjadi dasar tindakan “memaksa” oleh pemerintah. Dengan segala konsekuensinya, penerapan UU Kekarantinaan Kesehatan dapat dipilih.
Jika pemerintah tidak dapat melakukan ini, rasanya tak elok jika hanya menyalahkan tanpa memberikan solusi. Klarifikasi Jubir Pemerintah untuk Penanganan Kasus COVID-19 mengenai penekanan pada peran Yang Kaya justru akan menjadi polemik baru yang mempertanyakan kehadiran pemerintah.
Agustina Multi Purnomo, S.P., M.Si.
KAHMI Bogor, dan Dosen Sains Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Djuanda (UNIDA) Bogor
Sumber : http://bogoronline.com/2020/03/penyebaran-covid-19-si-kaya-vs-si-miskin/