Drs. Denny Hernawan, MA (Dosen FISIPKOM)

Majelis Tasbih, Jum’at, 24 Juni 2022

 

Politics is power, politik adalah kekuasaan, atau all politics is about power, kata Andrew Heywood sewaktu berbicara tentang “Power, Authority and Legitimacy”. Begitu juga esensi dari buku yang ditulis oleh Harold Lasswell’s, dengan judul “Politics: Who Gets What, When, How” (1936), siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana caranya. Dengan kata lain, politik adalah siapa yang mendapatkan kekuasaan, kapan kekuasan itu didapat, dan bagaimana caranya untuk memperoleh kekuasaan.

Fenomena kekinian menunjukkan proses politik terjadi karena “gerakan sakit hati.” Kemungkinan pencibir dan pencaci maki di negeri ini adalah orang-orang yang punya trauma politik, entah pernah dipecat dari jabatannya atau sekelompok orang yang tidak bisa lagi seenaknya korupsi karena regulasi keuangan yang sangat ketat dengan sistem-sistem kuncinya. Fenomena yang muncul seperti sekelompok orang yang diam-diam mendukung gerakan separatisme di Indonesia dan percaturan kepentingan politik dalam rangka pemilihan presiden (Pilpres) 2024 menunjukkan proses politik mengarah pada “politik hoax.” Proses politik mengenai siapa yang mendapatkan kekuasaan, kapan kekuasan itu didapat, dan bagaimana caranya untuk memperoleh kekuasaan berjalan pada koridor politik isu yang mengedepankan kepentingan.

Data mengenai hoax di Indonesia menunjukkan hoax sosial politik dan SARA berada pada angka tertinggi. Persentase hoax politik dari tahun 2015 meningkat tajam pada tahun 2019-2020. Ini menunjukkan hoax politik semakin menjadi pilihan sebagai jalan bagaimana caranya untuk memperoleh kekuasaan.

Fenomena ini mendapat reaksi dari beragam kalangan. Beberapa reaksi yang terekam media adalah berita-berita mengenai: “Ganjar Pranowo Masuk Bursa Capres Nasdem, PDIP Singgung Etika Politik,” “Airlangga: KIB Semakin Solid Kedepankan Etika Politik Santun,” “Siti Zuhro: Etika Politik Berperan Hindari Hasil Pemilu Cacat Hukum,” Jokowi Minta Menteri Tetap Fokus Kerja Jelang Pemilu, KSP Singgung Etika Politik,” “Musim Baliho dan Kebangkrutan Etika Politik,” “Politikus Beretika dan Etika Berpolitik,” dan “Kita memerlukan politikus beretika. Dengan demikian, krisis kredibilitas politik(us) tidak bertransformasi menjadi krisis kebangsaan yang merusak peradaban demokrasi dan menghancurkan pelayanan publik.”

Lantas, apakah etika politik itu? Pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan, 1) upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; 2) upaya memperluas lingkup kebebasan; dan 3) membangun institusi-institusi yang adil.

Lebih mendalam, Islam memandang penting etika dalam berpolitik. Etika politik Islam adalah seperangkat aturan atau norma dalam bernegara di mana setiap individu dituntut untuk berperilaku sesuai dengan ketentuan Allah sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an. Adapun mengenai aplikasi nilai-nilai etika tersebut merujuk kepada pola kehidupan Nabi Muhammad SAW baik dalam kehidupan secara umum maupun secara khusus, yaitu dalam tatanan politik kenegaraan. Etika politik dengan demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan buruk. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu? Bisa iya, bisa juga tidak. Tapi yang penting adalah standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk.

Beberapa prinsip ajaran Islam yang dapat dijadikan etika dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini antara lain meliputi kekuasaan sebagai amanah, musyawarah, prinsip keadilan sosial, prinsip persamaan, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia, prinsip peradilan bebas kepentingan, prinsip perdamaian dan keselamatan, prinsip kesejahteraan, prinsip ketaatan rakyat. Melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip berarti telah melakukan tindakan tidak etis.

Etika Politik dalam Pandangan Islam

Dalam prespektif Islam, politik harus mengacu pada al-Qur’an dan hadis berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Berikut beberapa prinsip dasar politik Islam yang yang tercantum dalam Q.S An – Nisaa : 58 – 59:

(58) : Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.

(59) Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Q.S An – Nisaa ayat 58 – 59 menunjukkan etika politik terkait erat dengan prinsip menunaikan amanat, keadilan, ketaatan kepada Allah, Rasul dan Ulul Amrimerujuk kepada Allah SWT dan Rasululllah jika terjadi perselisihan. Prinsip amanat merujuk pada klasifikasi amanat ditemukan dalam pendapat Al–Maraghi. Amanat merupakan, 1) ranggung jawab manusia kepada Tuhan; 2) tanggung jawab kepada sesamanya; dan 3) tanggung jawab manusia kepada dirinya sendiri.

Prinsip keadilan mengacu pada konsep keadilan dalam Al-Qur’an. Adil disebutkan dengan kata-kata Al Adl, Al Qisth, Al MizanAdil yang berarti sama memberi kesan adanya dua pihak atau lebih karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi persamaan. Prinsip ketaatan kepada Allah, Rasul dan Ulul Amri mengacu pada pengertian Ulil Amri yang terdiri dari kata Ulu dan Al AmrUlu berarti pemilik, sedangkan Al Amr berarti perintah, tuntutan, melakukan sesuatu, dan keadilan atau urusan. Sehingga dapat diterjemahkan sebagai pemilik urusan. Prinsip ketiga ini mengandung unsur kesadaran menaati perintah.

Prinsip keempat adalah prinsip merujuk kepada Allah SWT dan Rasululllah jika terjadi perselisihan. Jika dalam keadaan berselisih, maka wajib diselesaikan dengan mengembalikan persoalan kepada Al Qur’an dan sunnah. Prinsip ini juga menggunakan musyawarah sebagai metode pembinaan hukum dan pengambilan keputusan politik.

Etika Berpolitik dalam Islam

Merujuk pada kajian Kitab Shahih Muslim etika berpolitik dalam Islam mengikat dua unsur, bagi pimpingan atau pejabat dan bagi yang dipimpin.

Bagi pemimpin atau pejabat terdapat larangan meminta jabatan, karena kalau meminta akan menjadi beban yang sangat berat. Akan tetapi kalau diberi amanah untuk menjabat tanpa disertai ambisi dalam jabatan itu (ambisius), sungguh akan dibantu oleh orang banyak (hadis nomor 1652). Selain itu, orang yang lemah tidak perlu diberi jabatan walaupun ia meminta jabatan tersebut. Karena jabatan itu amanah yang berat sebagaimana kisah Abu Dzar. Kisah Abu Dzar menunjukkan bahwa jabatan itu harus diberikan kepada orang-orang yang kuat dan memiliki kemampuan atau keahlian dalam suatu bidang tertentu sesuai dengan karakteristik tugas dan tanggungjawab dalam jabatan itu (Hadis nomor 1825). Pada kedua hadis ini terkandung makna, jabatan adalah sesuatu yang diberikan atas kepercayaan atas kemampuan dan keahlian seseorang. Penilaian atas kemampuan tersebut tidak terletak pada diri orang itu sendiri, namun pada penilaian orang lain atau orang yang memberikan amanah. Oleh karenanya tidak diperbolehkan meminta sebuah jabatan.

Seorang pemimpin haruslah mempermudah urusan orang yang dipimpinnya. “Pejabat yang mempersulit rakyatnya akan dipersulit, sebaliknya pejabat yang mempermudah urusan rakyatnya akan ditolong Allah (hadis nomor 1828).

Selanjutnya, pemimpin harus berlaku adil, tidak bertindak jekam, sewenang-wenang, dzalim atau aniyaya. “Imbalan bagi Pemimpin yang berlaku adil dalam menegakkan hukum, baik kepada keluarga maupun kepada orang lain, akan ditempatkan di tempat yang tinggi dengan cahaya yang terang dan berada di samping kanan Allah” (hadis nomor 1827). “Sejelek-jelek pemimpin atau pejabat adalah yang kejam, bertindak sewenang-wenang kepada yang dipimpin, melakukan tindakan dzalim atau aniaya” (hadis nomor 1830).

Pejabat atau pemimpin tidak boleh melakukan tindak penyelewengan atau korup (ghulul), karena nanti diakhirat ibarat onta atau kuda yang membawa beban berat dan merengek-rengek meminta pertolongan kepada Rasulullah SAW untuk meringankan beban berat itu, tetapi Rasulullah SAW tidak dapat menolong, karena waktu di dunia telah diberi peringatan tapi tidak dihiraukan (hadis nomor 1831). Pejabat atau pemimpin dilarang menerima hadiah. Hal ini dikisahkan sewaktu Rasulullah mengutus Ibnu Lutbiyyah dari Bani Azad untuk menarik zakat ke Bani Sulaim, setelah pulang melapor ke Rasulullah dengan menyerahkan sebagian zakat, karena sebagian diambil oleh Ibnu Lutbiyyah sebagai hadiah. Mendengar laporan itu, Rasulullah bersabda: “jika kamu benar, apakah kalau kamu hanya duduk di rumah ayah dan ibumu, kamu akan memperoleh hadiah? Orang yang mengambil sesuatu yang bukan haknya, di akhirat kelak akan memikul beban seberat hadiah yang diperoleh (hadis nomor 1832).

Bagi rakyat/umat atau yang dipimpin wajib taat kepada pemimpin. Karena ketaatan ini berarti menunjukkan ketaatannya kepada Allah, sebaliknya bagi rakyat yang tidak taat (durhaka) kepada pemimpinnya, berarti durhaka kepada Allah (hadis nomor 1835). Ketaatan kepada pemimpin dengan tidak melihat status sosial, ekonomi dan pendidikan, selagi sudah ada kesepakatan untuk mengangkat pemimpin, maka wajib taat walaupun pemimpin seorang budak yang berkulit hitam sekalipun selama dalam memimpin tetap berpegang teguh pada al-Qur’an (hadis nomor 1838). Menolak perintah pemimpin yang mengarah pada perbuatan maksiyat, melanggar hukum, termasuk korupsi (hadis nomor 1839 dan 1840). Tidak boleh melakukan tindakan makar/kudeta, selama pemimpinnya itu masih mengerjakan shalat.

Ketaatan terhadap pemimpin tidak berarti menutup mata atas kekeliruan pemimpin. Bagi rakyat/umat atau yang dipimpin wajib memberi peringatan dan meluruskan tindakan dan kebijakan pemimpin yang salah. Peringatan dan upaya meluruskan pemimpin tidak dalam konteks memecah belah kesatuan rakyat.

 

Oleh karena itu, secara etis antara yang memimpin dan yang dipimpin tidak boleh saling  menjelekkan-jelekkan, mengumbar aib kepada orang lain. Kedua belah pihak harus saling menghormati dan menghargai. Pemimpin itu ada karena ada yang dipimpin, begitupun eksistensi yang dipimpin ada karena ada yang memimpin.  Kalau menemukan data akurat perbuatan pemimpin yang tidak sesuai dengan aturan-aturan, hukum dan norma, maka tugas yang dipimpin boleh meluruskan. Munculnya oposisi dalam sistem politik untuk memberikan keseimbangan (check and balances), agar kebijakan dan perilaku pemimpin tidak keluar dari koridor hukum. Kalau keluar, tugas oposisi adalah berteriak, memberikan nasehat dan meluruskan, namun tidak boleh melakukan perbuatan makar atau memberontak. Hal ini dapat dilihat dalam hadis nomor 1855.

Sumber : https://unida.ac.id/artikel/etika-politik-islam (Humas UNIDA)