Puisi dan Ekspresi Pembebasan
“Puisi dan Ekspresi Pembebasan”
Muhammad Ichsan, Dosen Unida dan Penyair
Puisi memang unik, Edgar Allan Poe, penyair asal negeri Paman Sam (1809-1849) merasa kesulitan mengartikan puisi. Namun pada akhirnya, Allan menyimpulkan bahwa puisi merupakan ‘kreasi keindahan yang berirama’ yang kemudian pengertian ini oleh Robert Frost, dibalut dengan kata ‘emosi’ bahwa ‘puisi adalah ketika emosi telah menemukan pikirannya dan pikiran tersebut telah menemukan kata-kata’.
Puisi merupakan sebuah ekspresi paling murni dari kebebasan linguistik. Salah satu cirinya adalah ‘licentia poetica’. Kebahasaan yang diberikan sastrawan, khususnya penyair untuk menyiasati penggunaan bahasa. Tujuannya memberikan efek puitis dalam karyanya. Para penyair memiliki hak ‘licentia poetica’ semacam otoritas atau kebebasan. Kebebasan milik semua orang jika tidak bertabrakan dengan norma dan etika yang diyakini masyarakat. Kebebasan berekspresi melalui puisi ditulis sesuai perasaan penulisnya sehingga bebas pula bentuk dan isinya. Seorang penyair dapat mengekspresikan perasaan atau isi hatinya melalui untaian puisi. Setidaknya dengan mengutip Hendar Soetarna (2019) kita memahami empat makna kebebasan yang dinyatakan dalam puisi.
Pertama, ‘eksistensi diri’ ‘aku adalah aku’ Chairil Anwar dalam puisinya, menggunakan diksi-diksi yang menandai makna kebebasan tersebut. Perhatikan lariknya, .../Aku akan mengaum bila ingin mengaum/... /Aku ini binatang jalang.../ Nampak Chairil ingin menegaskan eksistensi dirinya yang tak subordinatif dan selalu menyerah pada keadaan.
Kedua, makna kebebasan yang berarti ‘merdeka’ seperti pada puisi Rhosma Rhinda, dengan judul ‘Kebebasan’ Ia secara bebas memilih diksi yang penuh dengan luapan kebebasan. .../Kuingin terbang.../Aku tidak terkungkung/Aku tidak terpuruk.../akan kubelai jiwa yang lemah/ yang dikuasai rayuan dunia/
Ketiga, makna kebebasan adalah ‘hak asasi setiap manusia’ dapat kita daras dalam bait ‘Dendang Kebebasan’ oleh Seko Dinda Basa, lariknya begitu lincah tentang kebebasan setiap individu yang tidak bisa dibatasi oleh apa pun /Lahirkan suara hati/Lepas. Biarkan menembus angkasa/Dengarlah suara kita bergema/Mengalir ke relung-relung jiwa dan rasakan getar-getar bahagia/meskipun sumbang suara kita/Tak akan ditolak oleh angkasa/Dendang kebebasan milik siapa saja/... /bahkan bebek yang bersuara jelek tak segan-segan turut menyanyi/karena dengan melahirkan suara hati/Hidup kita semakin berarti/
Keempat, makna ‘Pembebasan pikiran dari beban negatif’ bisa kita jumpai dari puisi Remy Sylado, dengan judul ‘Pada Pembebasan’ Kita bisa menguliknya pada baris-baris berikut, .../Kalau kepergian lelaki dari rumah istrinya/ Seperti prajurit berangkat ke medan perang/Jangan ikuti walaupun dengan pikiran sayang pun/Beri kecupan dan tidak dengan kalimat haru/Yang Kau pahami dalam kalimat ‘selamat jalan itu’/
Puisi dan pembebasan seharusnya terus disuarakan oleh para penyair saat kebebasan terasa dibelenggu. Peringatan hari puisi dunia tahun ini terasa getir penuh luka. Bagaimana tidak, mendekati hari peringatan puisi dunia yang jatuh setiap tanggal 21 Maret, masyarakat dunia disuguhkan dengan kebejatan Zionis Israel dalam melakukan politik genosida di Palestina. Sejak perang dikobarkan, penyerangan Zionis telah memakan korban lebih dari 32.000 jiwa yang 70% lebih adalah anak-anak dan wanita. Sungguh ironis, di zaman modern, saat dunia menyerukan kebebasan dan memerangi berbagai bentuk kolonialisme, Zionis tanpa etika kemanusiaan melakukan genosida dan etnic cleansing terhadap rakyat Palestina. Sungguh luka berbalut luka di hari puisi dunia tahun ini. Para penyair dunia harus bersuara di saat masyarakat dunia sudah mulai melupakannya. Akhirnya sebuah puisi kutuliskan untuk menyuarakan derita anak bangsa Palestina. Tak mesti menjadi Muslim untuk membela Palestina.
‘Tanah ini Milik kami’
Tanah ini milik kami, sudah ribuan tahun diwariskan
Oleh bapak-bapak kami, juga para Nabi yang Allah utuskan
Semua yang menghampar dari Semenanjung Sinai Hingga Gaza
Adalah milik kami
Tak ada yang dapat mengusir kami
Dalam Ramadan kami kunyah kembali rasa lapar
Tulang-tulang kami telah lama nampak menonjol
Daging-daging pembungkusnya telah lama aus
Anak-anak merejang hampir semua teriak makan
Tak ada makanan, Israel telah menghadangnya
Mereka penjarakan kami dalam kubangan mortir
Rata semua rumah kami, mengubur jasad-jasad tak bernama
hilang taman-taman yang meriangkan hati
Negeri-negeri Arab masih asyik dengan kemegahannya
Umat Nabi Muhammad entah di mana?
Saat kami kedinginan, justru lumpur menjadi kasur kami
Tak jarang sepatu-sepatu serdadu menginjak kening para bocah
Menangkap para ayah dan menguburnya hidup-hidup
Tanah ini milik kami
Kebun-kebun kami hilang
Rumah-rumah kami dibuldoser
Minyak-minyak di bawahnya juga di sedot ke Tel Aviv
Puing-puing mengepulkan debu yang bercampur darah
Belasan rumah sakit menjadi kuburan masal
Pembantaian hari ini lebih kejam dari Shabra Shatila
Saudaraku Umat Muhammad maafkan kami
Jika kelak kami tidak mampu menjaga kesucian Masjidil Aqsa
Dari perampasan laknat Zionis laknatullah
Kami tidak akan meninggalkan sejengkal tanah warisan para nabi
walaupun mereka ganti empat kali lebih besar di sebelah Sinai
Kami tetap berada di sini, menjaga Al Aqsa
Sampai kami habis atau zionis hancur sehancur-hancurnya
Mic, Dosen dan penyair
#Ramadan1445H.